Muncul Picu Pro-Kontra RUU Polri , Ini Perubahan yang Jadi Sorotan

Berita / 27-Mar-2025




BANDUNG — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih mengutamakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dalam waktu dekat.

Sementara itu, revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri) masih dalam tahap wacana dan belum masuk agenda prioritas.

Ketua DPR Puan Maharani menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada jadwal resmi untuk membahas perubahan dalam UU Polri.

Ia menyebut bahwa belum ada surat presiden (Surpres) yang diterima oleh DPR untuk memulai pembahasan tersebut.

Senada dengan Puan, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga menyatakan bahwa meski revisi UU Polri sempat mencuat dalam diskusi publik, namun tidak ada rencana untuk membahasnya dalam waktu dekat. “DPR belum berencana melakukan revisi UU Polri,” ujar Dasco seperti dilansir dari laman Tempo.co.id pada Senin, (24/3/2025).

Meskipun belum menjadi prioritas, revisi UU Polri sebenarnya telah masuk dalam daftar rancangan undang-undang inisiatif DPR sejak tahun 2024. Berdasarkan draf RUU yang beredar, terdapat sejumlah pasal yang menuai kontroversi.

Salah satu yang disoroti adalah Pasal 16 ayat 1 huruf q, yang memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penindakan, pemblokiran, atau pemutusan serta perlambatan akses ruang siber dengan dalih keamanan dalam negeri. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai bahwa aturan ini berpotensi membatasi kebebasan berekspresi publik dan tumpang tindih dengan kewenangan Kementerian Komunikasi dan Digital serta Badan Sandi dan Siber Negara.

Selain itu, revisi juga menyentuh Pasal 14 ayat 1 huruf g, yang memberikan tugas kepada Polri untuk mengoordinasikan, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang ditetapkan oleh undang-undang, serta bentuk pengamanan swakarsa. Aturan ini dinilai dapat memperluas kewenangan Polri secara signifikan.

Polemik lainnya muncul dalam Pasal 16 A yang mengatur kewenangan Polri dalam menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam sebagai bagian dari kebijakan nasional.

Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa perubahan ini dapat membuka ruang bagi kontrol berlebih terhadap aspek intelijen.

Selain soal kewenangan, revisi UU Polri juga mengusulkan perpanjangan batas usia pensiun anggota kepolisian.

Dalam Pasal 30 ayat 2, batas usia pensiun diusulkan menjadi 60 tahun untuk anggota Polri, 62 tahun bagi mereka yang memiliki keahlian khusus, serta 65 tahun bagi pejabat fungsional.

Usulan ini mendapat penolakan dari masyarakat sipil yang menilai bahwa perpanjangan usia pensiun dapat menghambat regenerasi di tubuh kepolisian.

Menanggapi wacana revisi ini, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengingatkan agar DPR dan pemerintah tidak menyusun undang-undang secara tergesa-gesa.

Ia menegaskan bahwa ada sejumlah RUU lain yang lebih mendesak untuk dibahas. “Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini,” tegas Isnur pada Minggu, (23/3/2025).

Isnur juga menyoroti pentingnya memprioritaskan pembahasan RUU lain yang lebih mendesak seperti RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, RUU Penyadapan, hingga RUU Masyarakat Adat.

Dengan demikian, proses legislasi dapat lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat luas dibanding hanya berfokus pada perluasan kewenangan institusi tertentu.

Pic source : tempo


Program